ALIRAN KALAM ASY’ARIYAH
A.
Asal-Usul al-Asy’ariyah
Dalam perjalanan sejarah, aliran Mu’tazillah pernah mencapai masa
jaya, yaitu ketika al-Makmun, khalifah Abbasiyah ke-7 (813-833) menjadikan
mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara (827 M).[1]
Akan tetapi, serangan mu’tazilah terhadap fuqaha dan muhadditsun semakin
gencar. Tak seorangpun pakar fiqh popular atau pakar hadits luput dari serangan
itu. Suatu serangan dalam bentuk pemikiran disertai dengan siksaan fisik dalam
suasana mihnah. Akibatnya, timbul kebencian masyarakat terhadap mu’tazilah yang
berkembang menjadi permusuhan. Masyarakat melupakan jasa baik dan jerih payah
mu’tazillah membela islam dengan melakukan perlawanan terhadap kaum zindiq[2]
dan budak hawa nafsu.
Pada akhir abad ke-3 Hijriyah. Muncul dua tokoh yang menonjol,
yaitu al-Asy’ari di Bashrah dan Abu Mansur al-Mathuridi di sarmakand.
Al-Asy’ari adalah seorang mu’tazilah yang memutuskan keluar dari aliran
mu’tazilah. Al-ASy’ari dibantu Al-Mathuridi bersatu untuk melakukan bantahan
terhadap mu’tazilah, meskipun terhadap persamaan dan perbedaan.
B.
Tokoh al-Asy’ariyah
Nama lengkap tokoh Al-Asy’ariyah adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail
bin Abi Basyar bin Salim bin Ismail Abdullah bin Qais Al-Asy’ari. Ia dilahirkan
di Bashrah pada tahun 260 H/873 M dan wafat di Bagdad tahun 34 H/935 M. Ia
adalah cucu sahabat rasul yang terkenal, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari.
Sejak kecil hingga 40 tahun, al-Asy’ari diasuh dan berguru kepada
ayah tirinya, Abu al-Juba’I, tokoh besar mu’tazilah di Bashrah sehingga ia
sangat menguasai masalah-masalah ke-mu’tazilah-an ketika ia berdebat untuk
membela mu’tazilah dengan pihak lain.
Meskipun ia sangat menguasai paham mu’tazilah, namun keraguan
selalu muncul di dalam hatinya tentang mu’tazilah, dan ia selalu merasa tidak
puas. Setelah merenung sekitar 15 hari, akhirnya, ia memutuskan keluar dari
al-Juba’i. Ia naik ke mimbar dan berpidato :
“Saudara-saudara, setelah saya meneliti dalil-dalil yang digunakan
oleh masing-masing pendapat, ternyata dalil-dalil itu, menurut hemat saya sama
kuatnya. Saya mohon petunjuk kepada Allah swt. Saya sekarang meninggalkan
keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan baru. Keyakinan lama saya lepaskan, sebagaimana saya melepaskan baju yang
saya kenakan ini.”
Sejak itu, al-Asy’ari
gigih menyebarkan paham barunya sehingga terbentuk mazhab baru atau teologi
Islam yang dikenal dengan nama Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, pengikut Al-Asy’ari
disebut pula Al-Asy’ariyah.
C.
Doktrin al-Asy’ariyah
Pokok-pokok pemikiran Al-Asy’ari yang kemudian dijadikan pegangan
oleh pengikutnya adalah:
1.
Perbuatan
Manusia
Menurut al-Asy’ari perbuatan manusia diciptakan Tuhan, bukan
diciptakan manusia sendiri. Manusia memiliki kekuatan atas
pembuatan-pembuatannya, sebab ia mengalami pada dirinya sendiri atau perbedaan
yang nyata antara gerakan-gerakan seperti gemetar dan nyeri, dan hal-hal selain
itu yang timbul secara disadari. Perbedaan ini ada karena gerakan-gerakan yang
disadari itu sendiri timbul melalui kekuatan, dan sebagai hasil dari pilihan
orang yang memiliki kekuatan itu. Atas dasar inilah al-Asy’ari mengatakan bahwa
perbuatan yang diperlukan oleh manusia adalah perbuatan yang mungkin timbul
melalui kekuatan manusia itu sendiri, dan perbuatan tuhan[3].
2.
Melihat
Allah
Asy’ari berpendapat bahwa setiap yang ada dapat dilihat. Allah juga
ada, maka dengan demikian Dia dapat dilihat. Kami juga tahu dari wahyu-Nya
bahwa kaum mukminin akan melihat-Nya di hari akhir nanti.
Ada dua pandangan yang dimiliki Asy’ari tentang melihat wajah Allah
swt. Yang indah di hari akhir itu. Pertama, Manusia dapat melihat saja
merupakan suatu jenis pengetahuan istimewa dalam artian bahwa pengetahuan itu
berhubungan dengan yang bukan tidak ada. Kedua, pengetahuan dapat melihat Tuhan
merupakan suatu persepsi di luar pengetahuan yang tak memerlukan adanya suatu
efek terhadap apa yang dipersepsi itu, tidak pula memerlukan efek yang berasal
dari padanya.
3.
Sifat
Tuhan
Menurut Al-Asy’ari, jika Allah benar-benar mencipta dan tidak ada
yang berserikat dengan-Nya (dalam penciptaan sesuatu), maka Dia menciptakan
sesuatu itu dengan kekuasaan-Nya. Inilah sebenarnya makna dari nama-Nya Allah
swt[4].
Singkatnya, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an,
seperti Allah mengetahui, berkuasa dengan qudrat-Nya, gidup dengan hayat-Nya.
Sifat-sifat tersebut adalah ajali, dan berdiri di atas Zat Tuhan.
4.
Keadilan
Tuhan
Asy’ari berpendapat bahwa Allah tidak mempunyai kewajiban apapun,
tidak memberi pahala kepada orang yang taat ataupun tidak memberi hukuman
kepada orang yang berdosa. Tetapi, persoalan ini diserahkan kepada
kehendak-Nya, apakah Dia mau member pahala atau hukuman kepada orang yang taat,
atau memberikan hukuman atau ampunan kepada orang yang berdosa.
5.
Mengenai
Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut al-Asy’ari adalah qadim bukan makhluk, sebab
kalau ia makhluk sesuai dengan al-Qur’an surat al-Nahl ayat 40, yang artinya :
“jika kami menghendaki sesuatu, kami bersabda: terjadilah, maka
terjadi”
(QS. Al- Nahl, 16:40)
Untuk menciptakan itu perlu kata kun, dan untuk terciptanya kun ini
perlu kata kun yang lain, begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kun
yang tak berkesudahan, dan ini tidak mungkin. Oleh karena itu al-Qur’an tidak
mungkin diciptakan[5].
6.
Mengenai
hal-hal ghaib
Mengenai informasi yang diberikan kepada kita dalam al-Qur’an
tentang hal-hal ghaib, seperti fana, lauh, arsy, surge (jannah) dan neraka
(al-nar), masih dipahami secara literal saja, demikian pula mengimani semuanya
sama halnya mengenai informasi tentang hal-hal yang akan terjadi di akhirat,
seperti pertanyaan dalam kubur, ganjaran dan siksaan didalamnya, mizan, hisab,
shirath, pembagian manusia kedalam dua kelompok, kelompok yang masuk surge dan
yang masuk neraka: semua itu benar adanya, semuanya dipahami secara literal
saja.
7.
Muslim
pendosa yang bertaubat
Menurut al-Asy’ari seorang muslim yang melakukan perbuatan dosa
besar kemudian meninggal dunia sebelum sempat bertaubat, tetap dihukumi mukmin,
tidak kafir tidak pula berada di antara mukmin dan kafir, dan di akhirat ada
beberapa kemungkinan: ia mendapat ampunan dari Allah dengan rahmat-Nya sehingga
pelaku dosa besar tersebut dimasukan ke dalam surge, atau ia mendapat syafa’at
dari Nabi Muhammad saw. Sebagaimana sabdanya:
شَفَاعَتِي
لِأَهْلِ الْكَبَائِرمِنْ أَمَّتِي <الحديث>
Artinya : ‘Syafaat adalah untuk umatku yang melakukan dosa besar”
8.
Anthropomorphisme
(Musyabbihah)
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai muka, tangan, dan
sebagainya dengan tidak ditentukan bagaimna bentuk batasannya. Kata-kata dalam
Al-Qur’an seperti Tuhan duduk, wajah, dua tangan, berada di atas, dan
sebagainyadipahami secara literal, yakni, kata-kata tersebut dipahami seperti
kata-kata itu diterapkan kepada fisik atau tubuh manusia. Dengan demikian
kata-kata yang serupa dengan itu terdapat dalam hadits seperti “hingga yang
kuasa menginjakkan kaki-Nya dalam neraka” dipahami secara tekstual atau secara
leteral.
ALIRAN KALAM MATHURIDIYAH
A.
Asal-usul Mathuridiyah
Mathuridiyah muncul di
sarmakandh pertengahan kedua abbad IX M. Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad
Ibn Mahmud al-Mathuridi. Ia dilahirkan di samarkhand pada tahun 333 H. Riwayat
hidupnya tidak begitu banyak diungkapkan oleh para penulis. Yang jelas, ia
hidup sezaman dengan Abu Hasan al-Asy’ari tetapi di tempat yang berbeda,
al-Asy’ari di Bashrah sementara Mathuridi di Samarkhand.
B.
Doktrin al-Mathuridi
Di antara pemikiran al-Mathuridi yang terpenting adalah:
1.
Sifat
Tuhan
Menurut al-Mathuridi tuhan mempunyai sifat-sifat Tuhan mengetahui
dengan sifat ilmu-Nya, bukan dengan dzatnya, tuhan berkuasa dengan sifat
qudrat-Nya, bukan dengan dzat-Nya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat
al-Asy’ari.
2.
Perbuatan
Manusia
Al-Mathuridi sepenfapat dengan kelompok mu’tazilah bahwa manusia
sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya[6].
3.
Al-Qur’an
Menurut al-Mathuridi al-Qur’an adalah kalam qadim, bukan
diciptakan, sebagaimana paham mu’tazialh. Untuk hal ini al-Mathuridi sepaham
dengan al-Asy’ari.
4.
Melihat
Allah
Al-Mathuridi berpendapat bahwa Allah swt. Dapat dilihat, seperti
firman Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 22-23, yang artinya:
“wajah-wajah
(orang mukmin) pada hari kiyamat berseri-seri. Kepada
Tuhannya mereka melihat“ (QS. Al-Qiyamah : 22-23)
Berdasarkan ayat tersebut, al-Mathuridi sebagaimana al-Asy’ari
menetapkan Allah dapat dilihat pada hari kiamat. Hal itu merupakan salah satu
keadaan khusus (hari akhir), sedangkan keadaan itu hanya Allah yang mengetahui
bagaimana bentuk dan sifatnya.
5.
Pelaku
dosa besar
Al-Mathuridi berpendapat seperti al-Asy’ari bahwa muslim yang
melakukan dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula berada pada tempat
di antara dua tempat (al-manzilah baina al-manzilataeni).
6.
Anthropomorphisme
(Musyabbihah)
Al-Mathuridi berpendapat, ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan
seolah-olah Tuhan mempunyai bentuk jasmani seperti manusia, harus ditakwil,
diberi arti majazi, bukan diartikan secara harfiyah. Pendapat ini juga sejalan
dengan mu’tazilah dan bertolak belakang dengan pendapat al-Asy’ari.
C. Kritik Atas Doktrin Asy’ariyah dan Mathuridiyah
Perumusan
doktrin al-Asy’ari, intinya menyuguhkan suatu usaha untuk membuat sintesa
antara pandangan ortodoks dengan pandangan mu’tazilah. Tetapi perumusan ini
jelas sekali menunjukkan sifat suatubreaksi terhadap doktrin mu’tazilah, suatu
reaksi yang al-Asy’ari sendiri tidak bisa menghindarinya.
Sebuah
reaksi berupa jalan tengah bagi umat terhadap masalah hubungan antara wahyu dan
rasio. Al-Asy’ari berhasil menjaga hak-hak interpretative akal, tanpa
menuyempitkan wahyu itu sendiri. Sehingga al-Asy’ari yang mu’tazil memutuskan
untuk keluar dan membentuk madzhab baru yang dikenal Asy’ariyah, karena ia
selama menganut paham mu’tazilah selalu diselimuti perasaan syak dalam dirinya.
Al-Mathuridi
dalam pemikiran teologinya banyak menggunakan rasio, karena banyak dipengaruhi
oleh Abu Hanifah. Dan timbulnya al-Mathuridiyah sebagai reaksi terhadap aliran
mu’tazilah. Walaupun terdapat persamaan doktrin, akan tetapi terdapat pula
perbedaannya.
Dari
penjelasan di atas, yaitu gabungan doktrin al-Asy’ari dan al-Mathuridi menjadi
suatu aliran kalam yang dikenal dengan Ahl al-Sunnah wa al Jama’ah.
REFERENSI
:
Rohanda WS., ILMU KALAM Dari Klasik Sampai
Kontemporer, (Bandung: Najwa Press), 2005-2006
[1]
Harun Nasution, op. cit., hal.16
[2]
Zindiq adalah orang yang pura-pura beriman, munafik atau orang kafir.
[3] Muhammad Syahrastani, al-Mihal wa
al-Nihal. (Trj. Karsidi Diningrat, (pustaka, 1996), hal. 118.
[4]
Ibid., hal. 124
[5]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, op. cit., hal. 52-53
[6]
Harun Nasution, op. cit., hal. 77